Kamis, 03 Maret 2011

Merrill Lynch Bangkrut, Proyek Karbon Aceh Macet

Banda Aceh - Ada hubungan yang kuat antara banyaknya jaringan jalan yang mengarah atau memotong kawasan hutan dengan tingkat kerusakan hutan di Aceh. Sementara itu Ulu Masen Ecosystem Project Sales and Marketing Agreement (Perjanjian Penjualan dan Pemasaran Proyek Ekosistem Ulu Masen), atau dengan kata lain proyek penjualan karbon Aceh, antara NAD dengan Carbon Conservation Australia macet. Hal ini diakibatkan oleh lembaga penyandang dana Merrill Lynch bangkrut.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dalam acara Workshop Lingkungan dengan mengambil tema “Strategi Pemerintah Aceh dalam Perlindungan dan Penyelamatan Hutan Aceh”, Hotel Kuala Radja, Banda Aceh, Senin, (28/2).
Nara sumber dari pemerintah yaitu Kepala Bidang Planologi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh, Ir. Saminuddin B. Tou, M.Sc menyampaikan makalah dengan judul: “Strategi Pemerintah Aceh dalam Perlindungan dan Penyelamatan Hutan Aceh”.
Saminuddin menyampaikan hasil kajian menyebutkan bahwa penyebab langsung kerusakan hutan antara lain akibat kegiatan ekspansi pertanian, perladangan, pembalakan liar, pertambangan, kebakaran, dan lain sebagainya. Sedangkan penyebab tidak langsung kerusakan paru-paru dunia itu diperparah dengan adanya pembangunan infrastuktur, pemukiman, kebijakan yang tidak tepat, tata kelola hutan yang salah dan sebagainya.
“Kombinasi kedua penyebab tersebut semakin memperburuk kerusakan hutan Aceh,”kata Saminuddin.
Sementara itu, Muhammad Teguh Surya dari Eksekutif Nasional Walhi menyampaikan fakta bahwa Merrill Lynch sebagai lembaga penyandang dana sebesar 9 juta USD untuk Ulu Masen Ecosystem Project Sales and Marketing Agreement (Perjanjian Penjualan dan Pemasaran Proyek Ekosistem Ulu Masen), antara NAD dengan Carbon Conservation Australia (CC), mengalami kebangkrutan. Skema perdagangan karbon yang mengkonservasi hutan seluas 750.000 ha, dimana ada 61 Mukim dan 130.000 orang yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan tersebut, mengalami kemacetan.
“Carbon Credit yang dihasilkan dari project akan dijual kepada perusahaan Tambang Rio Tinto, salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia,”ujar Teguh.
Tidak jelas siapa penerima manfaat dari project ini, karena penerima manfaat akan ditentukan oleh Steering Committee yang terdiri dari Gubernur, CC, FFI, Oxfam, 1 orang yang ditunjuk Gubernur dan 1 orang dari komunitas masyarakat yang dicalonkan oleh Gubernur, ujar Teguh kembali.
30% dari hasil penjualan carbon credit untuk Risk Management Buffer, 70% lagi dibagi menjadi 15% untuk CC, 85% NAD.
sumber : The Globe Journal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar